JAKARTA- Perkembangan kecerdasan buatan atau AI saat ini memang telah berkembang pesat. Bahkan dalam penelitian baru-baru ini di Universitas New York, peneliti mengklaim jika telah berhasil mengajar AI untuk membaca pikiran manusia.
Dilansir dari laman Android Pit, Jumat (8/3/2019) awalnya peneliti membacakan kata dan angka kepada beberapa orang yang diuji. Selain itu, mereka juga mengukur aktivitas dengan implan otak di pusat pendengaran.
Kemudian, data tersebut dikirim ke AI yang nantinya membandingkan dengan kata-kata yang diucapkan asli. Dengan cara ini, AI akan belajar untuk mengevaluasi gelombang otak dan merekonstruksi kata-kata itu sendiri.
Seorang pengamat teknologi asal berlin, Enno Park awalnya skeptis dengan penelitian tersebut. Pasalnya dimasa lalu, memang sering ada sistem yang menganalisis gelombang otak dan berfungsi sesuai dengan prinsip.
Misalnya, salah satu alat yang mampu mengendalikan kursi roda dari jarak jauh. Di mana ia akan mampu melakukan tugasnya dengan hanya memberika gerakan. Kemudian alat tersebut dipasarkan dan diklaim sebagai membaca pikiran.
“Tetapi apa yang terjadi di sini selangkah lebih maju. Anda benar-benar dapat merekonstruksi bahasa lisan dari gelombang otak,” kata Park.
Namun, Park juga tak memungkiri jika otak manusia sangat rumit, dan aplikasi semacam itu belum bisa diterapkan secara universal pada semua jenis percakapan dan pemikiran.
Baca Juga: Mark Zuckerberg Bicara Tentang Masa Depan Facebook
“Anda harus menyadari, bahwa belum ada pikiran. Anda tidak bisa tahu kapan orang memikirkan angka-angka ini, hanya mereka yang mendengarnya. Ini fiksi ilmiah,” kata dia.
Dalam film dan buku, tentu saja, teknologinya sudah lebih maju. Berkali-kali skenario dystopic dengan pemantauan yang didukung AI ditarik di sana, yang dapat digunakan sebagai alat yang kuat untuk membaca pikiran. Namun, bagi Park, ini adalah fiksi ilmiah murni dan akan melibatkan operasi otak yang kompleks.
Meski terdengar menakutkan, Park melihat manfaat nyata bagi banyak orang, “Pertama-tama saya memikirkan orang-orang cacat, misalnya pasien yang terkunci, yang benar-benar terjaga tetapi tidak dapat lagi menggerakkan otot. Atau orang-orang seperti fisikawan Stephen Hawkings yang harus dengan susah payah menggunakan suatu sistem dengan mulut mereka di mana mereka dapat memilih masing-masing huruf untuk membuat diri mereka dipahami.”
Jika ini memungkinkan, kecerdasan buatan bisa sangat membantu, bukan malah menjadi ancaman.
(ahl)